Kamis, 01 November 2012

Kecerdasan Seimbang



Kecerdasan Intelektual, Emosional & Spiritual

1.Seputar Kecerdasan Intelektual
Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:

A. Pemahaman absolut terhadap skor IQ
.
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.

B. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika

Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.


2.Seputar Kecerdasan Emosional (EQ)
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat


3.Seputar Kecerdasan Spiritual

Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’ ( Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001).

Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.






Penerapan IQ-EQ-SQ Dalam Kehidupan


IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari proses :

1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.

Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi) – bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka – tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.

Rencana keputusan yang hendak kita ambil – hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika – matematis untung rugi.

Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.


Kesimpulan :
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.

Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee, strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”.
Selamat mencoba.











Apakah Anda menganggap
diri Anda untuk menjadi cerdas?

Schools and the education system would have us believe that we are only intelligent if we are able to solve complex abstract problems or remember facts and figures. Sekolah dan sistem pendidikan ingin kita percaya bahwa kita hanya cerdas jika kita mampu memecahkan masalah abstrak kompleks atau mengingat fakta dan angka.
I would agree that this is a type of intelligence and this type of intelligence is normally referred to as IQ or 'intelligence quotient' (a phrase coined by an American psychologist named Lewis Terman). Saya akan setuju bahwa ini adalah jenis kecerdasan dan jenis kecerdasan ini biasanya disebut sebagai 'kecerdasan intelektual' IQ atau (frase diciptakan oleh seorang psikolog Amerika bernama Lewis Terman).
A small proportion of the population has a high IQ and they find the academic type of learning and activities in school relatively easy. Sebagian kecil penduduk memiliki IQ tinggi dan mereka menemukan jenis akademik dan kegiatan belajar di sekolah relatif mudah. But the vast majority of people don't. Tetapi sebagian besar orang tidak. So where does that leave everyone else? Jadi bagaimana meninggalkan orang lain?
Well, the good news is that IQ is not a measure of success. Nah, kabar baiknya adalah bahwa IQ bukanlah ukuran keberhasilan. Most people with a high IQ do not go on to be as successful as their IQ score may lead us to believe. Kebanyakan orang dengan IQ tinggi tidak pergi untuk menjadi berhasil seperti mereka nilai IQ dapat membawa kita untuk percaya. Most people with a high IQ take reasonably well paid, but routine, employment. Kebanyakan orang dengan IQ tinggi mengambil dibayar dengan cukup baik, tapi rutin, pekerjaan. Most are not happy with risk and rather limit their own success by becoming 'comfortable' and fall far short of what their potential suggests. Sebagian besar tidak senang dengan risiko dan agak membatasi kesuksesan mereka sendiri dengan menjadi 'nyaman' dan jatuh jauh dari apa yang menunjukkan potensi mereka.
There is another type of intelligence that may be more important to success in life and this has been publicised by the best-selling book “Emotional Intelligence” (or EQ) by Daniel Goleman (although the term was first used several years earlier by two academics - Mayer and Salovey). Ada lagi jenis kecerdasan yang mungkin lebih penting untuk kesuksesan dalam hidup dan ini telah dipublikasikan oleh buku laris "Emotional Intelligence" (atau EQ) oleh Daniel Goleman (walaupun istilah ini pertama kali digunakan beberapa tahun sebelumnya oleh dua akademisi - Mayer dan Salovey).
EQ has to do with recognizing, understanding, and choosing how we think, feel, and act. EQ harus dilakukan dengan mengenali, memahami, dan memilih bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak. It shapes our interactions with others and our understanding of ourselves. Ini bentuk interaksi kita dengan orang lain dan pemahaman kita tentang diri kita sendiri. It defines how and what we learn; it allows us to set priorities; it determines the majority of our daily actions. Hal ini mendefinisikan bagaimana dan apa yang kita pelajari, yang memungkinkan kita untuk menentukan prioritas, melainkan menentukan mayoritas tindakan kita sehari-hari.
EQ is the capacity to create positive outcomes in our relationships with ourselves and others. EQ adalah kemampuan untuk menciptakan hasil yang positif dalam hubungan kita dengan diri kita sendiri dan orang lain. These learnable skills create joy, love, and success of all kinds. Keterampilan ini bisa dipelajari membuat sukacita, cinta, dan kesuksesan dari segala jenis.
Studying EQ it becomes clear that IQ has less to do with success in life than EQ. Belajar EQ menjadi jelas bahwa IQ tidak terlalu terkait dengan sukses dalam hidup daripada EQ. The good news is that we all have EQ and that it can be developed. Kabar baiknya adalah bahwa kita semua memiliki EQ dan bahwa hal itu dapat dikembangkan. We can develop our EQ to help us build our relationships with others, to use our emotions appropriately, to focus our efforts and to become more successful in life. Kita dapat mengembangkan EQ kita untuk membantu kita membangun hubungan kita dengan orang lain, untuk menggunakan emosi kita tepat, untuk memfokuskan upaya kami dan untuk menjadi lebih sukses dalam hidup.
EQ may be so important that it could be the best predictor of who will succeed in any area of life. EQ mungkin begitu penting sehingga bisa menjadi prediktor terbaik dari yang akan berhasil dalam setiap bidang kehidupan.
Q, EQ dan SQ, Dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk
Oleh : AKHMAD SUDRAJAT, M. Pd.
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005).
Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ).
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind..
Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik) !
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”




Lebih Dekat dengan IQ, EQ dan SQ

Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. IQ bukan merupakan harga mati untuk kecerdasan sang buah hati. IQ bukan segalanya manakala tanpa diimbangi dengan EQ. Hidup seorang anak tidak sepenuhnya bergantung pada IQ, tanpa EQ akan menjadikan seorang anak menjadi kuper, mindar atau lemah mental ketika berinteraksi dengan orang banyak. Kita sebagai orang tua harus peka dan selektif terhadap segala hal yang ada atau terjadi pada diri buah hati. Pengembangan IQ tidak harus melalui bangku sekolah, tetapi lingkungan merupakan terminal awal
yang akan membingkai IQ seorang anak. Bagaimana caranya untuk mengembangkan IQ anak dengan tidak melupakan EQ ?
Hal-hal apa saja yang membuat Anda sukses dalam hidup? ketekunan dan kerja keras itu sudah harga mati, tapi ada 3 unsur dalam diri Anda yang sangat menentukan apa yang ada dalam diri Anda, yakni IQ, ES dan SQ.

Berikut ini adalah sedikit penjelasan mengenai 3 unsur tersebut :
1. IQ (Interllegent Quotient)
yakni kecerdasan intelektual yang membuat Anda bisa memecahkan suatu masalah pekerjaan dengan baik. Tanpa IQ, Anda tidak bisa diterima dalam suatu kecerdasan karena kecerdasan memang dibutuhkan dalam pekerjaan.
2. EQ (Emotional Quotient)
EQ menurut David Golemen lebih bermakna jika dibandingkan dengan IQ. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi lebih mampu bisa berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat diterima dari dalam.
3. SQ (Spiritual Quotient)
SQ dinilai paling penting jika dibandingkan dengan 2 unsur sebelumnya. SQ menjadi senjata paling penting dan merupakan kepercayaan akan apa yang dikerjakan serta kejujuran dan keteguhan pada jalan hidup yang benar. Bisa saja orang memiliki IQ yang tinggi dan EQ yang besar, namun tanpa kejujuran orang tersebut akan melihat kepalsuan yang dimiliki pada akhirnya dan semua akan meninggalkan orang tersebut.
  Kecerdasan anak bisa jadi termasuk dalam Multiple Intelligence.
Coba perhatikan, pasti minimal salah satu dari 9 jenis kecerdasan di bawah ini ada pada anak kita.

1. Linguistik Verbal
Kecerdasan yang biasanya dipakai oleh institusi pendidikan
untuk mengukur IQ seorang anak, biasanya berkisar pada kemampuan menggunakan kata – kata secara efektif.
2. Numerik
Kecerdasan yang berhubungan dengan angka atau matematika, termasuk juga kemahiran menggunakan logika.
3. Spasial
Kecerdasan gambar dan visualisasi yang berhubungan dengan kreatifitas seperti seni dan desain.
4. Kinestetik
Kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan fisik seperti olahraga dan penari. Termasuk juga orang yang cepat belajar dengan cara melihat, menyentuh dan mengerjakan sesuatu secara langsung.
5. Naturalis
Kecerdasan yang dimiliki oleh orang yang mampu berhubungan dengan alam seperti tumbuh-tumbuhan, binatang. Misalnya pelatih binatang.
6. Interpersonal
Kecerdasan dimana ia mampu memahami dan berkomunikasi dengan mudah dengan orang lain.
7. Intrapersonal
Kemampuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan termasuk mengendalikan dan mengatur dirinya sendiri. Kecerdasan ini juga sering disebut dengan kecerdasan
emosi atau emotional intelligence (EQ).
8. Musikal
Kemampuan menyanyikan lagu, peka irama atau sekedar menikmati musik.
9. Moral
Kemampuan untuk memiliki nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat dan menerapkannya dengan baik pada keseharian.

Bukan mustahil bila anak kita memiliki berbagai kecerdasan sekaligus. Jadi, berikan anak kita kesempatan untuk melakukan sebanyak mungkin kegiatan yang bervariasi, sehingga dia akan menemukan kegiatan yang paling sesuai untuk dirinya. Tetapi perlu diperhatikan juga didalam mengembangkan IQ anak harus terdapat keseimbangan dengan EQ (kecerdasan emosi). IQ tinggi yang dimiliki oleh anak, tidak akan berkembang dengan baik dalam kehidupan sosialnya apabila tidak didukung dengan EQ yang bagus. Daniel Goleman (1999), mengemukakan bahwa kecerdasan emosi atau EQ merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Jika kita tidak yakin mengapa EQ menjadi sebegitu pentingnya bagi perkembangan dan kehidupan anak, coba lihat sekeliling kita. Pernahkah kita menemui orang yang
sebegitu pandainya tetapi dalam kehidupan sosial ia justru tampak jauh tertinggal. Jangankan teman baik ataupun membangun relasi dan network, untuk berinteraksi
dengan orang lain pun sepertinya adalah hal yang aneh baginya. Sayangkan, kepandaiannya menjadi sia-sia belaka.
Sebagai orang tua, perlu kita sadari jika si anak cukup cerdas emosinya, maka kemungkinan ia untuk hidup bahagia dan sukses akan terus meningkat. Kami ingin berbagi beberapa cara untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak kesayangan kita.

Minggu, 08 Mei 2011

The Stupid Rule

Alangkah baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu.........
Terdapat dalam UU Berkendaraan Pasal 107 dan 293 ......
Anda para bikers bisa melihatnya di GOOLGE ataupun dimanapun.......


saya berpendapat penggunaan lampu motor di siang hari adalah percuma.
Tidak akan mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas. Argumen saya jelas, kecelakaan motor dengan motor atau motor dengan mobil terjadi bukan karena tidak melihat, tetapi karena tidak mau melihat. Kenapa tidak mau melihat ?? Karena egois, ingin selalu didahulukan. Mereka yang egois, tidak bisa atau tidak mau melihat kebutuhan orang lain. Bila kondisi jalan antri, satu per satu, maka orang macam begini akan berpikir bagaimana mencari jalan pintas, pepet sana pepet sini. Hari ini harian Kompas menurunkan artikel bahwa Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Djoko Susilo mengusulkan ide agar setiap motor produksi baru dilengkapi komponen daylight running lamps (DRL) yang otomatis menyala bila mesin hidup.

Wah ini kan lahan bisnis baru nih. Masih di artikel yang sama, wartawan Kompas menuliskan bahwa DRL ini hal yang lumrah di negara-negara maju (mungkin maksudnya negara Barat dan yang pasti banyak kabutnya). Normalnya Kesan yang muncul =karena sudah lumrah di negara maju, maka kenapa kita (Indonesia) tidak mengikuti.. Diberikan contoh negara-negara Skandinavia yang pertama kali mempelopori DRL karena jalanan di kawasan itu berkabut di siang hari.

Ada 2 pertanyaan yang saya tidak bisa memahami logikanya. Tolong bila ada pembaca yang bisa menjawab, bantu saya memahami kebijakan ini.

1. Iklim Indonesia terang benderang, tidak ada kabut-kecuali di Sumatera dan Kalimantan akibat ulah pembakaran hutan. Jadi apa perlunya mencontoh negara-negara Skandinavia yang gelap di siang hari? Apakah terasa/terlihat jelas motor yang menyalakan lampu bila Anda menggunakan mobil dan melirik spion? Bandingkan dengan motor yang tidak menyalakan lampu.
2. Lalu kenapa hanya motor? Kenapa mobil tidak diperlakukan sama, agar pengendara motor ketika melirik spion juga bisa melihat jelas ada mobil yang akan mendahului??


Yang paling masuk akal adalah pernyataan berikut: segala bentuk kecelakaan dalam berkendaraan diakibatkan oleh pengemudinya (ngantuk, bengong, ugal ugalan,, ngebut,,tidak konsentrasi,, ) lalu faktor kendaraan ( Rem,, kaca spion,, spidometer,, mungkin bannya juga..)

Sebagai penutup, saya ingin ingatkan lagi bahwa aturan menyala lampu motor di siang hari ini tidak atau belum ada dasar hukumnya. Hal ini juga diakui Kombes Djoko Susilo di harian Media Indonesia (4/10). Bahkan di pasal no 74, Peraturan Pemerintah no 43/1993, justru ada larangan menyalakan lampu di siang hari, kecuali kalau tidak membahayakan.

Gunakanlah Lampu Jika Dibutuhkan (Ingin Mendahului,JIka Hujan,Cuaca mendung, Dan isyarat pada pejalan kaki)

Bukannya secara terus menerus 24 Jam (Stupid)
Jadi jangan mau ditilang kalau tidak menyalakan lampu motor di siang hari!!!!